Bank Syariah di Indonesia telah muncul semenjak tahun 1992, dimana dimulai dari keresahan sebahagian umat Islam akan adanya riba pada bank konvensional yang mengakibatkan sebahagian masyarakat
Setelah keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang mengubah Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992, mulai mengakomodir peraturan tentang bank syariah di dalamnya, serta diperkuat oleh UU Bank Indonesia Nomor 23 tahun 1999, barulah lahir bank syariah lain dan berkembang dengan pesat. Dimana telah diakuinya bank berdasarkan prinsip syariah untuk beroperasi di Indonesia, hal ini menandai lahirnya dual banking system di Indonesia yang berarti baik bank konvensional maupun bank syariah keduanya diakui dalam sistem perbankan di Indonesia.
Meskipun pada UU Nomor 10/1998 telah mengakomodir peraturan bank syariah, namun belum mengatur ketentuan perbankan syariah pada pasal-pasal khusus. Pada UU tesebut ketentuan bank syariah baru diatur sebatas mendefinisikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. Dengan lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah perkembangan bank syariah ke depan akan mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Sebagai gambaran laporan pada triwulan I 2009 jumlah bank syariah di Indonesia mencapai 31 Bank, terdiri dari 5 Bank Umum Syariah (BUS) dan 25 Unit Usaha Syariah (UUS) bank umum dan 133 BPRS[1].
4.1.Kekuatan Yang Dimiliki
Perbankan syariah memiliki karakteristik yang menjadi keunggulan perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Keunggulan-keunggulan tersebut menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan perbankan syariah di
1. Sesuai dengan prinsip syariah, baik dari akad, produk, penyaluran.
Apabila selama ini banyak masyarakat terutama segmen masyarakat yang religius enggan untuk menyimpan dananya di bank karena adanya riba berupa bunga. Maka dengan kehadiran bank syariah maka segmen masyarakat tersebut akhirnya memiliki solusi untuk menyimpan dana yang mereka miliki tidak lagi di bawah bantal, karena kondisi kedaruratan yang selama ini menjadi dasar masyarakat muslim untuk menabung di bank konvensional telah hilang seiring dengan telah hadirnya bank syariah di Indonesia. Sehingga apabila masih ada orang yang berargumentasi menabung di bank konvensional boleh secara agama karena situasi darurat, maka itu adalah argumentasi yang keliru. Akad-akad muamalah yang menjadi landasan dalam setiap transaksi di perbankan syariah menunjukkan bahwa setiap transaksi itu selalu dengan prinsip syariah.
Produk-produk perbankan syariah baik produk penghimpunan dana maupun produk penyaluran dana keduanya sesuai dengan prinsip syariah. Apabila pada bank konvensional terjadi perjanjian yang terpisah antara pihak bank dengan nasabah penabung dan antara pihak bank dengan nasabah peminjam, sehingga keuntungan bank adalah selisih antara bunga yang diberikan kepada nasabah penabung dengan bunga yang dikenakan kepada nasabah peminjam. Maka pada bank syariah akad yang terjadi adalah akad yang terintegrasi baik antara pihak bank dengan nasabah penabung maupun dengan nasabah peminjam. Sehingga apabila bagi hasil yang diberikan dari nasabah peminjam kecil maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan kecil pula.
Pada bank konvensional, penyaluran dana bebas tanpa syarat sehingga dana dapat disalurkan kepada sektor-sektor usaha yang mungkin bertentangan dengan prinsip syariat, misalkan bantuan kredit untuk pembangunan pabrik bir. Maka di bank syariah, adanya larangan bank syariah untuk menyalurkan dana kepada sektor-sektor usaha yang mungkin bertentangan dengan aturan syariat atau dapat menimbulkan kemudharatan. Sehingga nasabah pun akan lebih aman dalam bertransaksi dengan bank syariah, mereka tidak perlu khawatir dana yang mereka taruh dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, dan nasabah bisa mengawasi apabila ternyata bank syariah menyalurkan dana untuk sektor usaha yang bertentangan dengan aturan syariat. Apabila terjadi pelanggaran terhadap prinsip syariat, maka nasabah dapat melaporkan kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di tiap bank syariah.
Pola pengawasan pada bank syariah terjadi dua tahap, yaitu pengawasan terhadap kinerja pengelolaan bank syariah dari aspek manajemen dilakukan oleh dewan komisaris. Sementara dari aspek pengawasan terhadap pelaksanaan aturan syariat dilakukan oleh dewan pengawas syariah. Selain itu produk yang akan dikeluarkan pun harus memperoleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, hal ini menimbulkan ketenteraman bagi pihak nasabah bahwasanya seluruh akad, produk dan penyaluran pada bank syariah sudah benar-benar sesuai dengan aturan prinsip syariat.
2. Sistem yang lebih adil dan menenteramkan bagi umat
Sistem perbankan syariah lebih adil baik dari aspek nasabah penabung maupun nasabah peminjam. Nasabah penabung saat ini tidak perlu lagi takut dananya hilang seperti pada saat krisis 1997 dimana banyak bank yang terpaksa dilikuidasi, karena bank syariah dalam setiap aktivitasnya selalu didasarkan pada sektor riil. Dan bagi hasil pun dapat lebih besar daripada bunga yang diberikan oleh bank konvensional, apabila bagi hasil yang diberikan oleh nasabah peminjam besar maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan besar pula. Sehingga sistem ini akan terbukti lebih adil dan menenteramkan bagi nasabah penabung.
Sementara nasabah peminjam pun tidak perlu lagi takut dengan bunga tinggi, pada krisis 1997 banyak usaha yang bangkrut akibat kesulitan dalam membayar bunga kredit yang tinggi. Dalam sistem bunga, bank tidak peduli dengan kondisi perusahaan yang dibantu, yang penting bagi bank adalah perusahaan tersebut. Berbeda dengan bank syariah, dimana yang diterapkan adalah bagi hasil sehingga apabila pendapatan usaha pada saat itu sedang kecil maka bagi hasil yang dibagikan akan kecil pula. Begitu pula sebaliknya apabila pendapatan usaha meningkat, maka bagi hasil yang dibagikan pun akan meningkat pula. Sehingga nasabah yang mengajukan pembiayaan di bank syariah tidak perlu takut terhadap beban bunga yang tinggi lagi. Sebab bagi hasil yang disetorkan kepada pihak bank tergantung pada pendapatan usaha yang diperoleh.
3. Telah terbukti tahan krisis
Krisis ekonomi yang melanda
Intervensi Bank
Ketidakterkaitan antara sektor moneter dan riil ini mengakibatkan persoalan serius. Beban bunga yang tinggi tidak akan mungkin mampu ditanggung oleh para pengusaha. Namun karena pengusaha memerlukan likuiditas kredit bunga tinggi terpaksa diambil. Tahap berikutnya bank tersebut mengalami kredit macet, karena para pengusaha tidak mampu membayar beban yang harus ditanggungnya. Selanjutnya, bank-bank yang mengalami kredit macet yang besar itu terancam eksistensinya, karena di satu pihak bank harus membayar bunga deposito yang tinggi, sedangkan di sisi lain pendapatannya menurun drastic karena kredit macet. Oleh karenanya, negative spread yang diderita bank-bank itu sangat besar yaitu sekitar 20%, sehingga modal dari sebagian besar bank telah habis dimakan non performing loan dan negative spread.[3]
Akibat dari hal ini dari Bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1998[4], pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank di samping mengambil alih 11 bank (bank take over) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Semua bank-bank BUMN dan BPD pun harus ikut direkapitalisasi, bahkan untuk menyehatkan perbankan 4 bank BUMN yaitu BPD, BDN, Bank Exim dan Bapindo harus dimerger menjadi bank Mandiri dalam rangka untuk memperkuat permodalan. Biaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan yang besar harus ditanggung oleh rakyat melalui APBN.
Hal ini berbeda pada sistem keuangan syariah yang menganggap uang hanya sebagai alat tukarb dan bukan sebagai komoditas. Sebagai alat tukar uang tidak akan menghasilkan nilai tambah apapun kecuali apabila dikonversi menjadi barang atau jasa. Dengan demikian setiap transaksi keuangan harus dilatarbelakangi dengan sektor riil. Ketika banyak bank konvensional yang mengalami negative spread dan mengalami kesulitan likuiditas, Bank Muamalat
Kemampuan perbankan syariah dalam melewati krisis ini mendapat pengakuan dari pemerintah yang membuahkan hasil dengan keluarnya Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Hal ini menandai diakuinya perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan di Indonesia, apabila dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang diakui hanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil maka dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 mulai diakuinya perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Sehingga semenjak UU No. 10 tahun 1998 ini diberlakukan Indonesia secara resmi menganut dual banking system dalam sistem perbankannya, dimana perbankan konvensional dan perbankan syariah berdampingan dalam sistem perbankan di Indonesia.
4. Mempunyai payung hukum perundang-undangan
Dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, perbankan syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum dalam operasional perbankan syariah di Indonesia. Selama ini kendala dalam perkembangan perbankan syariah adalah ketiadaan payung hukum tersendiri yang khusus mengatur tentang perbankan syariah. Apabila kita melakukan kilas balik sejarah dari awal berdirinya bank syariah di
Sehingga sampai dengan tahun 1998 hanya ada satu perbankan syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, namun seiring waktu sebagai pembuktian akan bank syariah yang tahan krisis maka lahirlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang mulai mengakui bank berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Dan mulai bermunculan bank-bank syariah baik berupa bank umum maupun unit usaha syariah yang merupakan unit usaha dari bank konvensional yang khusus berkonsentrasi dalam menangani nasabah yang hendak bertransaksi secara syariah serta bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), yang diikuti perkembangan asset dan nasabah bank syariah yang cukup pesat.
Akan tetapi masih ada keresahan dari pihak perbankan syariah bahwasanya mereka masih membutuhkan Undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, hal ini perlu dilakukan mengingat banyaknya instrument yang dibutuhkan oleh perbankan syariah tidak mampu atau belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan tentang perbankan yang berlaku. Dan hal yang dinantikan ini akhirnya terwujud dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008. Diharapkan dengan lahirnya Undang-undang ini diharapkan target penguasaan market share perbankan syariah sebesar 5% yang tidak tercapai pada tahun 2008 mampu direalisasikan pada tahun 2009. Dan semoga ke depannya perbankan syariah mampu memiliki penguasaan market share yang seimbang dengan perbankan konvensional.
4.2.Kendala Yang Dihadapi
Perkembangan perbankan syariah di
1. Permasalahan keterjangkauan jaringan yang masih rendah dan belum merata di seluruh propinsi di
Hal ini merupakan salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bank
Bank umum syariah banyak yang mengambil kebijakan untuk bekerjasama dengan bank konvensional atau instansi lain dalam rangka memperluas pasarnya. Bank Muamalat
Bank Syariah Mandiri sebagai anak perusahaan dari Bank Mandiri memanfaatkan jaringan ATM yang dimiliki oleh Bank Mandiri di seluruh
1. Nasabah yang tidak loyal kepada bank syariah
Dalam perkembangan nasabah yang menggunakan jasa perbankan syariah terbagi atas dua segmen nasabah, yaitu yang pertama adalah nasabah yang loyal terhadap perbankan syariah, dimana ia menggunakan jasa perbankan syariah karena semangatnya untuk menegakkan syariat. Sehingga ia tidak akan mempersoalkan berapa besaran persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah jika dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional. Jenis nasabah ini sering dikatakan sebagai nasabah emosional, yaitu menggunakan jasa perbankan syariah berdasarkan penerapan aturan syariat yang dilaksanakan.
Segmen nasabah yang kedua adalah nasabah yang tidak loyal kepada perbankan syariah, dimana mereka menabung di bank syariah dengan memperbandingkan berapa besaran persentase bagi hasil di bank syariah dengan tingkat suku bunga di bank konvensional. Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), segmen nasabah ini masih loyal di bank syariah, tetapi lebih dari itu, segmen nasabah ini bisa berpindah ke bank konvensional. Jenis nasabah ini seringpula dikatakan sebagai nasabah rasional yaitu bertransaksi dengan bank syariah berdasarkan keuntungan yang didapat. Walaupun sebenarnya dikotomi antara nasabah emosional dan nasabah rasional tidak sepenuhnya tepat, karena nasabah bank syariah yang loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang rasional yang melihat segala sesuatu tidak hanya keuntungan jangka pendek semata akan tetapi juga memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Begitu pula pada nasabah yang tidak loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang emosional yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek semata.
Pada triwulan ketiga tahun 2005[5] tren meningkatnya suku bunga berdasarkan analisis BI juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun 2005. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.
1. Kurangnya pemasaran dan promosi
Promosi yang dilakukan oleh dunia perbankan syariah masing sangat kurang, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana mengakses layanan perbankan syariah. Aspek pendanaan memang menjadi kendala utama dalam melakukan promosi di bank syariah, minimnya anggaran promosi yang dimiliki menyebabkan kurang gencarnya promosi yang dilakukan oleh bank syariah. Sementara anggaran promosi di bank konvensional relatif lebih besar dibandingkan dengan di bank syariah, akhirnya menyebabkan gaung perbankan syariah masih kalah dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Hal ini dapat disiasati dengan dilakukannya promosi bersama oleh seluruh bank syariah yang ada termasuk bekerjasama dengan Bank
Tanpa promosi yang memadai maka kemudahan masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah tidak akan optimal. Bank syariah harus mampu merancang suatu strategi promosi yang efektif agar masyarakat mengerti tentang berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Berdasarkan hal tersebut, Perbankan Syariah Indonesia dituntut untuk lebih giat mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, inovasi instrumen dan produk bank, pemberian pelayanan yang memuaskan dan memfungsikan Bank Syariah bukan hanya sekedar sebagai lembaga finansial dan komersial tapi juga lembaga keuangan sosial karena dengan masuknya Bank Syariah dalam kegiatan sosial akan melahirkan sentimen positif dalam berbagai hal.
1. Kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
Bank Syariah kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Perkembangan perbankan Syariah yang pesat serta pelajaran yang diberikan oleh krisis keuangan yang terjadi 1997, telah memunculkan harapan pada sebahagian masyarakat bahwa pengembangan ekonomi Syariah merupakan suatu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional, juga sebagai pelaksanaan kewajiban Syariat Islam. Namun sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dirasakan masih kurang, sehingga banyak masyarakat yang berasumsi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional hanya sekedar menambahkan label syariah di belakang nama banknya serta merubah istilah bunga menjadi bagi hasil.
Ketidaktahuan masyarakat tentang sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh perbankan syariah ini diakibatkan masih kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Bank syariah harus membuat strategi edukasi dan sosialisasi yang mampu mengenalkan bank syariah kepada seluruh segmen masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mendekati tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh formal maupun tokoh informal di suatu daerah tertentu yang memiliki
1. Kurangnya sumber daya manusia.
Bank Syariah seolah-olah disibukan oleh jargon “how to Islamize our banking system” dan lupa akan wacana ” how to Islamize the people involved in the banking industry”. Banyak masalah Bank Syariah disebabkan pemahaman dan kesadaran para praktisi Bank Syariah akan prinsip-prinsip ekonomi Islam (Bank Syariah) belum sepenuhnya dimengerti. Bank syariah saat ini masih kekurangan sumber daya manusia yang menguasai aspek fiqh tentang perbankan syariah dan pengetahuan manajemen perbankan praktis.
Permasalahan inilah yang harus dipecahkan bersama oleh seluruh pihak yang perhatian terhadap perkembangan industri keuangan syariah terutama perbankan syariah di
1. Membatasi instrumen dan produk bank pada bentuk tertentu
Bank syariah seringkali membatasi instrument dan produknya hanya pada beberapa produk tertentu, sehingga Bank-Bank Syariah kesulitan dalam mengembangkannya, bahkan terjebak dalam siklus investasi yang sempit. Hal ini menunjukan tidak adanya keberanian dan kemauan yang sungguh-sungguh dari para pelaku Bank Syariah. Dengan memberikan pilihan bentuk investasi kepada para klien adalah jaminan akan kematangan konsep Bank Syariah, dimana setiap klien akan memilih instrumen-instrumen tadi sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan peluangnya. Berbeda apabila Bank Syariah saat ini hanya menyediakan instrumen investasi dalam bentuk-bentuk tertentu, dimana seorang klien dengan terpaksa hanya mengandalkan instrumen yang tersedia, hal itu bisa berakibat fatal apabila kemampuan klien dan peluangnya tidak bisa dikembangkan pada instrumen yang tersedia pada Bank Syariah.
Contohnya: seorang klien mempunyai peluang investasi yang mengandalkan bentuk musyarakah (partnership), dan ternyata bentuk investasi yang tersedia di bank hanya dalam bentuk murabahah dan ijarah. Dalam hal ini, memaksakan salah satu dari dua instrumen investasi yang ada tersebut untuk jenis investasi yang menggunakan akad lain dapat berakibat fatal dan berisiko tinggi. Sebab karakteristik dari masing-masing akad tersebut berbeda, apabila dipaksakan mungkin yang muncul justru kemudharatan dan mampu menjatuhkan citra dari perbankan syariah apabila di kemudian hari investasi tersebut ternyata macet.
Bank Syariah yang ada di
Disamping itu, Instrumen dan produk Bank Syariah masih banyak mengandalkan sistem murabahah padahal Bank Syariah itu mempunyai banyak sistem investasi yang lebih unggul dan aman seperti mudharabah dan musyarakah dan lainnya. Hal ini disebabkan posisi perbankan syariah yang berusaha untuk bermain “aman” dalam penyaluran dana nasabahnya. Sebab sistem murabahah adalah sistem yang lebih pasti dan lebih gampang dalam menghitung bagi hasil yang akan diterima dan dibagikan.
4.3.Peluang Yang Dapat Diraih
Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah terutama pasca disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
1. Perluasan market share perbankan syariah
Dengan Undang-undang perbankan syariah yang terbaru maka peluang untuk memperluas market share perbankan syariah sangat terbuka karena beberapa alasan berikut: pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi (diubah) menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); kedua; Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) yang terjadi antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah, maka bentuk badan hukumnya wajib berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): Unit Usaha Syariah telah mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. Ketiga hal tersebut beberapa hal yang membuka peluang dalam perluasan market share perbankan syariah.
Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar