Krisis keuangan di Amerika Serikat sejak April 2008 meresahkan banyak negara, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diprediksi menurun drastis ke angka 4,5%-5,5% turun 8%-25% dari target UU No 41/2008 tentang APBN 2009. Walaupun Pemerintah mewacanakan perubahan, walau APBN 2009 baru dimulai 1 Januari 2009, sampai saat ini belum ada usulan perubahan resmi kepada DPR sebagai pemegang hak bujet negara.
Asumsi makro ekonomi sesuai UU No 41/2008, yaitu: pertumbuhan ekonomi 6,0%, inflasi 6,2%, nilai tukar US$/Rp 9400, SBI 3 bulan 7,5%, harga BBM US$ 80/barel, lifting minyak 960 ribu barel/hari, lifting gas 7.526 MMSCFD, produksi batubara 250 juta ton, dan PDB Rp 5.327T. Penerimaan negara Rp 986T dan belanja negara Rp 1.037T dan defisit 1% terhadap PDB atau Rp 51,3T. Dari belanja negara, belanja Pemerintah Pusat Rp 712T yang dialokasi pada 76 kementerian dan lembaga pusat, sedangkan belanja Pemerintahan Daerah Rp 312T yang dibagi pada 33 Provinsi, 389 Kabupaten dan 96 Kota se-Indonesia. Angka penerimaan, belanja dan defisit ini turun dari usul semula pada penyampaian Nota Keuangan 15 Agustus 2008 dimana penerimaan Rp 1.022,6 triliun, belanja Rp 1.122,2 triliun dan defisit 1,9%. Ini karena asumsi harga BBM turun dari US$ 100/barel menjadi US$80/barel. Bila harga BBM dunia terus rendah tahun 2009, postur APBN 2009 mengecil lagi dibanding yang ditetapkan sekarang.
Bila prediksi penurunan akibat krisis 20%, penerimaan negara menjadi Rp 789T atau turun Rp 197T dan belanja negara Rp 830T atau turun Rp 170T. Bila pemerintah mempertahankan tingkat belanja negara sesuai UU Nomor 41/2008, tambahan pembiayaan Rp 197T sehingga defisit anggaran menembus 3% di atas ketentuan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Agar defisit tidak melebihi 3%, pembiayaan defisit tidak boleh lebih Rp 120T. Di tengah krisis likuditas, tambahan pembiayaan ini juga tidak mudah diperoleh.
Peluang perubahan APBN 2009 akibat dampak krisis dibuka pada Pasal 23 UU APBN 2009. Intinya, Pemerintah atas persetujuan DPR dapat mengambil langah-langkah mengubah asumsi makro, penghematan atau realokasi anggaran, penarikan pinjaman dan/atau bentuk pembiayaan krisis lainnya. Perpu Nomor 2/2008 yang mengubah UU BI dan Perpu Nomor 3/2008 yang mengubah UU LPS, disahkan Sidang Paripurna DPR 18 Desember 2008, membolehkan BI membantu likuiditas atas jaminan agunan berkualitas dan LPS meningkatkan nilai jaminan simpanan nasabah bank dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar, sesungguhnya makin memperkuat sektor perbankan dan moneter dalam menghadapi krisis. Untuk Perpu No 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), DPR minta Pemerintah menyempurnakan melalui RUU JPSK, bukan Perpu, sehingga rasionalitas pembahasan lebih solid. Konsistensi implementasi dapat minimalkan dampak krisis dan pertahankan level kesejahteraan rakyat.
Di tahun 2008, kenaikan harga BBM mencapai 147 US$/barrel menekan target pertumbuhan ekonomi yang semula 6,8% menjadi 6,4%. Aktualnya diperkirakan 6,3%. Sebenarnya, angka di atas 6% relatif menggembirakan dan mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang solid selama era reformasi. Pada Orde Baru pertumbuhan ekonomi pernah 9%. Pertumbuhan tahu 2008 lebih disumbang konsumsi yakni 66,5%. Di sisi permintaan, perekonomian hingga triwulan II 2008 didorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5,3%, konsumsi pemerintah 2,2%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 12,8%. Pada sisi penawaran, perekonomian didorong laju kinerja sektor pengangkutan dan komunikasi 19,2%, sektor listrik gas dan air bersih 11,2% dan sektor keuangan 8,7%. Pertumbuhan didorong konsumsi menimbulkan multiplier efek rendah dan impor meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar